Saturday, August 1, 2009

The Bicycle with Color of Happiness

Story 2

Yes! Hari ini aku janjian dengan Dhion untuk pulang bareng. Soalnya ternyata… rumah kami berdekatan. Rencananya hari ini juga kami mau mampir ke toko buku dulu. Yah… banyak juga sih beredar gosip yang gak jelas karena hal itu. Tapi, Dhion bilang nggak usah cemas.

Dhion, di boncengan belakang sepedanya ada kenangan yang gak bisa hilang. Aku menyukai Dhion dan ingin selalu bersamanya. Sebenarnya, hubunganku menjadi seperti ini karena bermula dari hari itu…

“ Ya… gw juga senang bisa main bareng lu. Tapi gw gak ngerti mengenai rasa suka atau seseorang yang spesial….. gw 2 tahun bersamanya di SMP. Selalu pulang bersama boncengan dari sekolah. Di belakang gw adalah bangku khusus Retha dan hal ini menjadi sesuatu yang spesial bagi kami. Sekarang dia sudah punya pacar. Pacarnya itu guru les privatnya di kelas 3 SMP. Sejak mereka pacaran, kami jadi sama sekali gak bisa bertemu. Kemarin sewaktu kebetulan bertemu di stasiun dan bisa mengobrol setelah sekian lama, sesuatu ‘spesial‘ baginya berbeda dengan ‘spesial‘ untuk gw. Rasa ‘spesial‘ dan ‘suka‘ gak ada keterkaitannya bagi gw… mungkin sih.. Gw gak tau lagi deh…” jelas Dhion panjang lebar.

Saat itu, ekspresi raut mukanya Dhion sangatlah menyakitkan untuk dilihat dan dirasa. Biarpun di belakang Dhion tertinggal kenangan anak itu, aku akan tetap berada di sisimu. Setelah terdiam sejenak, aku pun menjawab Dhion, “Gak apa. Begitu pun gak apa-apa. Karena itulah gunanya teman. Itulah gunanya gw ada disini.” “Makasih yaa…” jawab Dhion dengan lembut dan senyum yang memancarkan kepedihan dari hatinya yang terdalam.

Ya… begitulah kemaren berakhirnya. Tapi, Dhion tetap gak ngijinan aku naik sepedanya. Apa boleh buat… aku dan dia pun jalan kaki dari sekolah sampai toko buku. Sambil berjalan kami main tebak-tebakan bentuk awan. Mainan anak kecil banget yaa… tapi menyenangkan. Aku bilang kalo aku suka banget sama warna biru langit yang cerah.

Seperti ini bisa pulang bersama saja sudah kegembiraan yang luar biasa untukku.Tapi, sejak saat itu aku nggak sekalipun mengatakannya ‘boncengin aku dong’. Aku merasa kalo kalimat itu tidak boleh dikatakan. Gak untuk sekarang.

Sambil bersantai memakan es krim kami ngobrol dan tertawa. Sampe-sampe mungkin ada yang mengira kami anak cacat. Oh ya! Bentar lagi ulang tahun Dhion. Apa ya kira-kira hadiah yang cocok buat dia. Aku tanyakan sajalah kepada orangnya.

“ Dhion, lu mau hadiah apa?” tanyaku. “ Gw mau sim untuk mengendarai motor, motor, trus…haha.” jawab Dhion. “ Hei!Hei! Mintanya barang yang lebih ringan dong!” Wah… ini orang ngisengin aku lagi. Gak punya otak apa? Emangnya aku ini enyaknya? Hugh!!!

“ Hahaha… Iya juga ya. Berat banget tuh permintaan gw. Hmm, kalo gitu…ah! Yang itu juga boleh, tuh yang disana.” Kata Dhion sambil menunjuk dengan jarinya. Aku memalingkan wajahku. Wah! Yang dimaksud Dhion adalah Retha! Aku kembali memalingkan wajahku. Saat aku melihat raut muka Dhion, jauh di dalam hatiku rasanya begitu menyedihkan.

Dhion berusaha pergi dengan alasan es krimnya meleleh. Tapi…aku seperti merasakan perasaan Dhion saat itu. Dia pasti sakit hati banget. Soalnya, bukan Retha doang yang ada disana! Tapi pacarnya juga! Udah begitu mereka kelihatan sangat cocok. Akhirnya, aku memutuskan untuk menghibur Dhion.

“Dhion…lu minta apapun boleh kok. Minta hal itu juga boleh. Karena itu gunanya gw ada disini. Gw bakal ngebantuin lu dapetin Retha. Yang penting lu bahagia” Kataku. Sebenarnya, pada saat itu aku gak rela, tapi…Dhion menjawabku sambil tersenyum, “ Gak usah. Nggak apa.Tapi kalo lu mau beri gw apa saja juga gak apa-apa. Yang penting kasih gw hadiah ya!”

Oo00oO

‘Nggak apa’? Anak itu sudah punya pacar dan Dhion punya aku. Pasti dia akan menghilang. Saatnya hati Dhion bukan milik anak itu pasti akan datang.

Hari ini aku sibuk mencari hadiah buat Dhion dari majalah. Eh, tiba-tiba orang yang dipikirin datang. Huuaa!!! Kata Dhion aku dipanggil guru!!! Ya sudah, aku pun pergi ke ruang guru. Menyebalkan!!!

Saat dalam perjalanan menuju ruang guru. Aku ketemu Retha. “ Kak Vena!” panggilanya. Aku pun menjawabnya dan menanyakannya ada perlu apa denganku.

“Kak,maaf tiba-tiba nanya. Kakak pacaran dengan Kak Dhion ya?” “Ya. Aku selalu pulang sama-sama dibonceng sepedanya.” Jawabku. Aku binggung kenapa aku berbohong. Tapi…aku mau tahu kebenaran tentang hubungan mereka berdua. “ Begitu ya!!! Ah, aku Retha dari kelas 1 teman sepermainannya sejak kecil Kak Dhion. Aku dengar gosip kalo kak Vena sering pulang sama-sama dengannya. Begitu ya, naik sepeda! Syukurlah…aku kepikiran dengan kata-kataku yang ringan saja pada Dhion sewaktu SMP dulu, nggak bisa tanya ke orangnya langsung sih.” Kata Retha dengan menunjukan rasa bersalah. Tiba-tiba ia menceritakan masa lalunya bersama Dhion.

“ Hei! Hei! Dhion! Dhion gak boleh bonceng orang lain ya. Janji ya. Karena kursi di belakang Dhion kursi spesialku seseorang yaa…” jelas Retha. Ternyata dulu dia berbicara seperti itu. Ia pun melanjutkan pembicaraannya, “ Saat itu aku berbicara begitu tanpa berpikir matang-matang. Dan setelah kepikiran, aku jadi merasa gak enak. Tapi…ternyata hanya aku yang besar kepala saja. Syukurlah!”

Anak ini! Anak ini mengatakan pada Dhion ‘ kursi spesianya’. Aku pikir…Dhionlah yang memutuskan sendiri. Ternyata bukan begitu. Karena anak inilah yang mengatakan ‘kursi spesial’ itu miliknya! Kata-kata anak inilah yang mengikat Dhion.

Setelah mendengar semuanya, emosiku menaik. Aku menjawabnya dengan marah, “ Lu! Kenapa? Kalau lu gak mengatakan hal seperti itu, pasti…” aku gak kuat melanjutkan ucapanku. Air mataku menetes.

Kalau dia gak mengatakanya…dengan begitu Dhion gak akan dibebani oleh kenangan macam itu dan akan lebih mungkin lagi untuk Dhion melihat diriku seorang.

Tiba-tiba Dhion muncul di belakang Retha. Mungkin dia kebingungan melihat ku dan Retha. Apalagi saat itu aku menangis. Aku gak tahan melihat Dhion. Akhirnya aku berlari meninggalkan mereka. Suara Dhion terus terdengar. Suara yang terus memanggil namaku.

Gak mau! Bukan begini! Seharusnya gak jadi begini! Biarpun dibelakang Dhion ada anak itu…aku gak baik. Sama sekali nggak!!! Biarpun begitu aku ingin berada disisinya. Karena itu aku merangkai kata-kata manis. Tapi…sebenarnya di dalam hatiku selalu berpikir….

Seperti biasa dan entah kenapa aku berakhir di tempat ini. Aku berdiri di dekat sepeda Dhion. “Alangkah senangnya kalo anak itu gak ada. Jangan terus-terusan memonopoli perasaan Dhion dong! Berikan semuanya padaku!!!” kataku seorang diri sambil menangis di dekat sepedanya.

CONTINUE...

No comments:

Post a Comment