Friday, July 17, 2009

The Bicycle with Color of Happiness

Story 1

Aku ingin mengubah warna dari kenangan yang tertinggal di belakangnya dan berharap bahwa tempat itu akan menjadi tempat untuk aku dan dia.


Seperti biasa, pagi ini aku terlambat lagi. Aku berlari sekencang-kencangnya. Kring…kring… terdengar suara sepeda. Tiba-tiba, dari belakangku ada yang berteriak “ Vena, lu telat mulu dah!” Wah, ternyata dia adalah Dhion.


“ Wah kesempatan bagus nih! Dhi, Tunggu dulu! Boncengin gw dong!!!” teriakku. “Hahaha… Lu lari dengan kecepatan segitu juga keburu kok. Daaghh!!!” balas Dhion sambil melambaikan tangannya dan pergi sambil tersenyum.


Hosh..hosh… napasku terengah-engah. Semuanya karena Dhion! Dasar! Tuh anak emang pelit. SANGAT PELIT! Kenapa aku harus ada di dekat orang yang menyebalkan. Huuaa… nasib-nasib.


“ Pelit! Sebenarnya gak masalahkan memboncengin saja?! Lu tau kan kalo gw ini udah setengah mati!!!” “ Nyantai mbak… Yang penting lu keburu kan? Sekali-kali lu juga harus olahraga tau. Ah.. lagi pula gw berprinsip gak akan membonceng seseorang.” “Hah? Kenapa lu punya prinsip yang membosankan gitu sih?” Dhion pun tertawa. Tapi, apa boleh buat?! Dia anaknya gak jelas.


Lalu… Dhion dengan bangganya memberikan sebotol air minum sambil berkata, “ Hadiah! Karena lu udah berlari dengan sekuat tenaga. Sebelum belajar matematika yang paling lu benci, minumlah dulu yang banyak.” Ha? Aku herannya bukan main. Saking herannya, air minumku hampir diambil lagi sama pemiliknya. Ya sudah. Pada akhirnya ku bilang ‘terima kasih’ ajah.


Dhion menoleh ke belakang sambil tersenyum. Sampe-sampe giginya kelihatan. Ah… dia itu … wajahnya seenaknya saja melekat pada ingatanku.


Teman-teman sekelasku buuaanyyaak yang bilang kalo aku sama dia cocok. Tapi menurut aku gak ada cocok-cocoknya. Aku diisengin terus. Udah gitu dia itu orangnya seenaknya saja. Emang sih dari kelas 1 aku sekelas sama dia dan dia itu orangnya gak terlalu ‘friendly’ tapi… apa mungkin dia cowo yang paling dekat sama aku?


Masa-masaku sama dia sangat menyenangkan. Mungkin aku besar kepala, tapi ada saatnya kupikir kalo dia menyukai aku lebih daripada cewe lain. Atau… apa cuma pandangan sepihak dari aku yang menyukai Dhion ya?

Oo00oO


Hari ini, ada praktek memasak di kelasku. Woaduh! Aku lupa bawa kentang. Untung saja di dekat sekolahku ada warung. “ Wah! Gw lupa bawa bawang bombay! Gw beli dulu yaa… sekalian beliin kelompok sebelah tuh.” Dhion menyahut. Ia pun pergi. Tapi tanpa sengaja, aku melihat ada bawang bombay di tasnya. Aku mengejarnya.

“Dhion!!! Lu ngerencanain apa sih? Pakai berbohong lupa bawa bawang bombaynya! Apa lu segitu pengennya mau pergi ke warung? Gw bisa pergi sendiri kok! Kembalilah ke kelas. Tapi pinjamin gw sepeda ya. Gw gak punya sepeda sih.” “Cerewet! Kalo lu yang pergi gak bakal keburu. Gw tau jalan pintas jadi gw saja yang pergi.” “Kalo begitu, boncengin gw. Kita pergi sama-sama.” “ Gw sudah bilang kan… Gw gak bisa memboncengin orang di belakang. Daaghh! Nanti gw tagih biaya kentangnya ya.”


Nggak bisa memboncengi? Bukannya gak mau membocengi? Kenapa? Kok… aku jadi ada perasaan asing. Sepertinya Dhion aneh… pelit ato membosankan? Sepertinya bukan kedua hal itu. Apa ada sesuatu dengan sepeda itu ya?


Tanpa sadar pun aku menghampiri sepedanya. Pemiliknya tiba-tiba datang. Hari ini aku ingin mencari tau kebenarannya.


“ Kenapa lu gak membiarkan orang membonceng di sepeda lu?” “… nggak ada alasan khusus kok. Aku kan memang pelit.”


Aku marah karena ia membelokan pembicaraan. Aku memintanya untuk menceritakan yang sebenarnya. Pada akhirnya, ia pun mau berbicara.


“Di sini… kursi boncengan di belakang gw ini selalu… menjadi tempat spesialnya dulu.” Tiba-tiba emosi ku menaik. “ Apa maksud lu dengan spesial? ‘Dulu’ kata lu, bagaimana dengan sekarang? Sekarang pun boncengan itu sudah menjadi tempat spesialnya seseorang? Karena itu gw gak bisa duduk disitu? Lu menolong gw dan itu membuat gw senang. Apa gw bukan teman yang baik buat lu? Bagi lu begitu?” Dhion pun menjawabku, “ Apa arti khusus itu ya? Bagi gw vena adalah vena.”


Oo00oO


Apa maksudnya bicara begitu ya? Apa yang dimaksud Dhion dalam perkataanya itu? Dipikir-pikir sejak saat itu kami gak ngobrol lagi. Dhion, aku sebenarnya ‘apa’ mu?


Saat sedang berpikir begitu, tiba-tiba aku melihat Dhion membonceng seseorang. Eh? Ah! Anak itu adalah Retha dari kelas 1. Apa dia anak ‘spesial’ bagi Dhion ya?


Hari ini, lagi dan lagi aku menghampiri sepedanya tanpa pikir panjang. Ya sudah! Karena udah terlanjur basah, aku tanyakan saja hubungan mereka berdua. Dhion menjawab, “Dia bukan pacar gw. Gw dan dia hanya teman sepermainan sejak kecil. Kemarin gw boncengan dengannya karena sudah nggak pernah sejak SMP dan sudah sangat lama kami gak ngobrol…” Aku berpikir sejenak, dan aku berkata, “ Hmm…. Dhion, gw… ya! Gw bakal jadi teman dekat lu! Ceritain aja semua masalah lu ke gw. Gw bakal dengerin semuanya! Gw akan selalu berada di samping lu.”


Padahal aku ada di dekatnya, aku ini nggak tau apapun tentang Dhion ya. Aku gak tau, tapi… aku akan mengubah warnanya dengan perasaanku. Berikanlah tempat itu buatku!


CONTINUE...


1 comment:

  1. Maaf yaa kalo ceritanya masih kurang bagus... soalnya ini cerita ke 2 yg gw buat :D Teman2 yg sudah baca, tinggalin comment yaaa... makasih

    ReplyDelete